PT. DATARAN SEKO PERKASA ( PT. D S P )

Selasa, 30 November 2010

Mengundang Investasi Baru Dalam Bidang Pertambangan


Investasi dan Prestasi Menuju Prestise
(sebuah paragraf yang baik dikembangkan dengan)  :
Mengundang Investasi Baru Dalam Bidang Pertambangan
Dengan mengatasi berbagai masalah yang menghambat masuknya investasi baru, pemerintah dapat mengambil langkah penting dalam mendorong usaha eksplorasi baru dan investasi dalam bidang pertambangan. Hal ini akan memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah tingkat dua.

Potensi Yang Menakjubkan
Dengan produksi timah terbesar ke dua di dunia, tembaga terbesar ke empat, nikel terbesar ke lima, emas terbesar ke tujuh dan produksi batu bara terbesar ke delapan di dunia, Indonesia merupakan salah satu negara penting dalam bidang pertambangan. Menurut survey tahunan dari Price Waterhouse Coopers (PWC), ekspor produk pertambangan menyumbangkan 11 persen nilai ekspor di tahun 2002, sementara sektor ini juga menyumbangkan 2,7% dari produk domestik bruto (PDB) dan US$ 920 juta dalam bentuk pajak dan pungutan bukan pajak bagi berbagai tingkat pemerintahan. Sektor pertambangan juga memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar, baik yang terlibat secara langsung dalam proses produksi, maupun dalam berbagai produk dan jasa pendukung pertambangan. Masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan. Meskipun sektor pertambangan sudah memberikan sumbangan penting bagi perekonomian Indonesia, sumbangan sektor ini dalam pembangunan nasional dan regional masih dapat ditingkatkan. Masih banyak daerah yang belum diekplorasi, dan secara geografis masih banyak daerah yang merupakan area paling prospektif untuk dikembangkan sebagai wilayah pertambangan. Pemerintah mengharapkan agar investasi baru dalam bidang pertambangan dapat menjadi sumber penting dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, terutama di wilayah-wilayah yang agak sulit dijangkau, seperti Papua dan Indonesia bagian timur.

Terhentinya Investasi
Investasi dan eksplorasi sektor pertambangan mengalami penurunan tajam. Hal ini sebagian disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti turunnya harga mineral dan logam dunia. Tetapi ini juga disebabkan turunnya daya saing usaha di Indonesia. Hal lain adalah kebijakan sector pertambangan yang abu-abu. Ini disebabkan lahirnya Undang-undang Pertambangan Baru yang belum diikuti peraturan pelaksanaan yang diperlukan.

Menurut estimasi dari PWC, eksplorasi di Indonesia telah mengalami penurunan dari US$ 160 juta di tahun 1996 menjadi hanya US$18,9 juta di tahun 2002. Sementara itu, jumlah investasi keseluruhan dalam sektor pertambangan turun dari sekitar US$ 2 billion di tahun 1997 menjadi di bawah US$ 500 juta pada tahun 2001 dan 2002. Daya saing tidak dapat dipertahankan. Indonesia mengalami kelumpuhan daya saing disaat berbagai negara lain saling berlomba dalam mencari investasi baru dalam bidang pertambangan. Menurut kajian mengenai industri pertambangan internasional yang dilakukan oleh Fraser Institute dari Canada (Fraser Institute Annual Survey of Mining Companies 2000/2001), mengenai bagaimana kebijakan dalam sektor pertambangan dapat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk menanamkan modalnya, Indonesia mendapat peringkat ke 40 dari         43 negara dalam hal iklim kebijakan sektor pertambangan. Hanya Rusia, Kazakhstan dan Zimbabwe yang dianggap lebih tidak menarik dibandingkan dengan Indonesia. Dan panjangnya waktu tenggang investasi menyebabkan proses pemulihan akan memakan waktu. Panjangnya waktu tenggang yang dibutuhkan untuk menemukan dan membangun lokasi pertambangan baru (mencapai 10 tahun lebih mulai dari penemuan hingga produksi untuk proyek besar), penurunan dalam produksi sangat mungkin untuk terjadi, kecuali dilakukan perubahan dalam lingkungan kebijakan sektor ini.

Resiko Lingkungan Hidup Tetap Tinggi
Prasyarat Lingkungan Hidup Bagi Penambang Besar Merupakah Hal Penting. Jika penduduk Indonesia ingin mendapatkan manfaat dari sektor pertambangan, maka berbagai aktifitas pertambangan harus dilakukan dengan mengikuti kaedah yang menjaga kelestarian lingkungan hidup dan memperhatikan aspek social.

Indonesia telah mengadopsi pendekatan umum dalam masalah pengelolaan lingkungan hidup. Kementerian Lingkungan Hidup merupakan otoritas utama dalam mengatur dan memonitor berbagai aspek lingkungan dari sektor pertambangan.

Proyek pertambangan yang memberikan dampak lingkungan hidup harus melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini sesuai dengan  cara-cara yang berlaku secara internasional. Lebih Penting Lagi Pelaksanaannya.

Prosedur AMDAL mencakup Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Kelola Lingkunga (RKL), Rencana Pengawasan Lingkungan (RPL). Salah satu bagian ANDAL adalah analisa dampak ekonomi dan sosial masyarakat sekitar. Prosedur ini memungkinkan masyarakat untuk mempunyai andil yang lebih besar dalam persiapan dan persetujuan ANDAL yang dilakukan. Tetapi kapasitas yang cukup dalam melakukan pengawasan terhadap berbagai prosedur tersebut mutlak diperlukan. Salah satu hal yang patut diperhatikan adalah ketegasan bahwa proyek konstruksi pertambangan tidak dimulai sebelum ANDAL disetujui. Operasi Berskala Kecil Sering Tidak Memenuhi Persyaratan.

Pertambangan berskala besar biasanya memenuhi persyaratan AMDAL dengan cukup baik. Tetapi terdapat kekhawatiran yang cukup besar terhadap para penambang berskala kecil. Peraturan mengenai lingkungan cenderung tidak menyentuh penambang kecil yang beroperasi dengan izin penambangan daerah (KP). Kebanyakan dari mereka tidak melakukan prosedur AMDAL yang diharuskan dan menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan. Mereka juga umumnya tidak mempunyai rencana pengembangan sosial.

Pertambangan Ilegal Menyebabkan Kerusakan yang Parah. Ada hubungan yang kuat antara penebangan hutan liar dan aktifitas pertambangan ilegal.

Terdapat banyak laporan mengenai berbagai aktifitas pertambangan ilegal batu bara dan emas di Kalimantan, serta pertambangan timah di Pulau Bangka, yang tidak mengindahkan penegakan hukum dan kewenangan peraturan. Pertambangan liar tersebut telah menyebabkan berbagai kerusakan tanpa adanya upaya pengawasan dan pencegahan. Tentunya ini jangan diidentikkan pepata “simalakaama”. Harus ada strategi mengatasinya.


Empat Aspek Utama Yang Perlu Dibenahi

1. Tidak Adanya Aturan Yang Berlaku
Tidak Jelasnya Kerangka Hukum. Tiga tahun belakangan ini, pemerintah berusaha mempersiapkan undang-undang baru mengenai sektor pertambangan. Undang-undang baru ini membahas peraturan perizinan baru yang disesuaikan dengan UU 22/1999 mengenai desentralisasi. Tetapi rancangan tersebut belum dapat diselesaikan dan diserahkan ke parlemen. Sehingga terdapat kekosongan peraturan perundangan, yang saat ini diambil alih oleh berbagai peraturan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi dan daerah tingkat dua sebagai akibatnya Muncul Ketidakpastian dan Resiko. Namun tentulah pengambil alihan kebijakan ini memunculkan ketidakpastian pula, terutama berkaitan dengan interprestasi dan implementasi berbagai peraturan tersebut. Hal ini menyebabkan rasa tidak “aman” bagi penanam modal baik local maupun asing (PMA). Hal ini juga membuka kemungkinan korupsi dan menyebabkan lemahnya penegakan hukum. Daerah dan kabupaten yang berpengalaman mungkin dapat menangani permasalahan dalam sektor ini secara efektif, namun sebaliknya daerah yang belum berpengalaman cukup akan menghadapi berbagai permasalahan. Ada sekitar 90 kabupaten lainnya (dari total 360 kabupaten) yang saat ini memiliki, atau mempunyai potensi untuk memiliki aktifitas pertambangan yang cukup berarti.

2. Terbatasnya Akses Pada Lahan Potensial
Tertutupnya Akses ke Hutan Lindung. Menurut UU 41/2000 mengenai Kehutanan pasal 38, seluruh aktifitas penambangan tidak boleh dilakukan di hutan konservasi, yang melingkupi 20,5 juta hektar atau 10 persen wilayah darat Indonesia. Hal ini sesuai dengan praktek internasional. Hanya saja UU ini melampaui berbagai peraturan di negara lain dengan melarang aktifitas penambangan di permukaan tanah pada wilayah hutan proteksi, yang mencakup wilayah hutan lindung. Hutan lindung yang meliputi 17% wilayah Indonesia (sekitar 33,5 juta hektar), umumnya merupakan hutan dan tanah pada lereng perbukitan yang ditujukan untuk melindungi sumber air dari erosi, sedimentasi dan gangguan terhadap sistem hidrolik.

Pemerintah melalui peraturannya menjelaskan bahwa izin untuk beraktifitas pada wilayah hutan akan diberikan pada beberapa proyek yang sebelumnya telah mendapatkan izin berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang telah disetujui. Hal ini akan membantu perkembangan proyek-proyek yang telah mencapai uji kelayakan tingkat lanjut tersebut. Itu artinya Persetujuan Hanya Akan Diberikan Pada Pemegang Izin Lama. Artinya tertutup kemungkinan bagi dibukanya lahan potensi yang mengandung bahan tambang bernilai ekonomis.

Berbagai proyek tersebut akan mendatangkan investasi potensial sebesar US$2,5 miliar. Tetapi Masalah yang Lebih Besar Masih Menunggu. Keputusan yang bersifat  ad-hoc tadi tidak memecahkan masalah sepenuhnya, karena hutan lindung mencakup berbagai daerah potensial bagi aktifitas penambangan mineral, yang hanya layak dilakukan di permukaan tanah, bukan di bawah tanah. Situasi menjadi semakin rumit dengan tidak jelasnya pemetaan batas hutan lindung. Hal lain yang muncul adalah peluang bagi daerah kabupaten/kota untuk menggali potensi sumber daya alamnya menghadapi hambatan yang tentunya berdampak dan hal ini dapat disebutkan sebagai “Kemiskinan Struktural”.  


3. Peraturan Perlindungan Lingkungan Hidup Tidak Mencukupi
Investor yang Serius Menginginkan Peraturan yang Jelas dan Dijalankan Secara Konsisten di Seluruh Sektor. Investor yang serius menginginkan adanya kebijakan lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan kerja yang jelas, konsisten dan realistis. Ini tercermin dalam berbagai peraturan yang dapat diterapkan. Tidak adanya persyaratan lingkungan hidup yang jelas membuat para investor sulit mendapatkan dana di pasar modal internasional. Hal tersebut juga akan membuat mereka harus menerima kritik karena dianggap tidak menjalankan tanggung jawab dengan baik. Kinerja yang buruk dari aktifitas penambangan kecil dan ilegal akan membuat seluruh sektor mendapat kecaman.

Kementerian Lingkungan Hidup memegang peranan penting dalam memperkuat pelaksanaan prosedur AMDAL dan menerapkan aturan yang lebih ketat bagi           proyek-proyek kecil yang tidak menjalankan AMDAL.

Desentralisasi Dapat Memperlemah Perlindungan Atas Lingkungan Hidup. Karenanya tentunya harus dikawal dengan perangkat peraturan daerah yang berpihak pada kepentingan yang lebih besar yaitu masa depan “bangsa”. Ini memang tidak mudah dan inilah salah satu tantangan yang menghadang di depan mata kita dan tentunya menantikan putera terbaik bangsa untuk memikirkannya.

Salah satu masalah penting dalam desentralisasi adalah bagaimana melaksanakan pengawasan aspek lingkungan hidup, kesehatan dan keselamatan kerja dalam aktifitas pertambangan. Operasi pertambangan umumnya lebih kompleks dan lebih besar dari aktifitas manufaktur dan bidang jasa. Ini menyebabkan aktifitas pertambangan memerlukan pengawasan teknis yang mencukup dan atau dapat memenuhi kriteria kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan hidup yang harus dipenuhi. Tidak ada kejelasan siapa yang mendapat wewenang melakukan pengawasan aspek-aspek tersebut dan berbagai inspeksi lainnya. Keahlian yang dibutuhkan juga tidak banyak didapati di tingkat pemerintah daerah.


4. Rezim Fiskal Sektor Pertambangan Tidak Lagi Cukup Menarik
Rezim Fiskal Sektor Pertambangan Sebelumnya Cukup Kompetitif. Investor dan pemberi pinjaman sangat memperhatikan adanya pajak yang kompetitif dan adil, sikap menghormati perjanjian, serta tingkat pajak yang stabil dan dapat diperkirakan, terutama selama masa pengembalian hutang. Selama tiga dekade, aktifitas pertambangan didasarkan atas perjanjian Kontrak Karya (KK). Sistem perpajakan dalam KK yang terakhir (KK ke 7) dapat dikatakan cukup kompetitif dibandingkan dengan pajak di negara penghasil mineral lainnya. Tetapi sistem pajak pertambangan yang berlaku saat ini (menggantikan KK generasi ke 7) menerapkan tingkat pajak yang lebih tinggi dari negara lain. Sistem pajak yang memberatkan ini juga berlaku pada aktifitas pertambangan di masa mendatang. Tetapi Berbagai Perubahan Regulasi Saat Ini Membuatnya Tidak Lagi Menarik. Beban Pajak yang tinggi saat ini berhubungan dengan tiga faktor. Pertama adalah tingkat kontribusi produksi, biasa disebut dengan royalti, yang saat ini mencapai empat persen secara rata-rata, dua kali lebih tinggi dari royalti yang diterapkan di dalam perjanjian KK ke tujuh. Faktor kedua adalah dimasukkannya batu bara, emas dan perak dalam status komoditas tidak kena PPN sejak tahun 2000 (UU 18/2000 mengenai PPN), yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi (sebab tidak seperti mineral lainnya yang terkena pajak nol, pembayaran PPN untuk komoditas dengan status ini, tidak lagi dapat diminta kembali). Ketiga adalah meningkatnya berbagai pajak dan pungutan daerah, sesuai dengan diterapkannya UU 34/2000 mengenai pajak daerah. Ini telah meningkatkan pembayaran pajak yang ditanggung oleh industri pertambangan, dari sekitar US$636 juta di tahun 1996, menjadi US$920 juta di tahun 2000. Akibatnya investasi baru tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik.

Diperparah oleh rendahnya konsistensi dan tingginya ketidakpastian, banyak perusahaan pertambangan mengeluhkan kekhawatiran terhadap tidak konsistennya pengenaan PPN dalam perjanjian KK yang sekarang berlaku. Disamping itu tidak terdapat jaminan bahwa peraturan perpajakan ini akan tetap berlaku di masa mendatang. Hal ini penting terutama bagi proyek pertambangan dengan modal awal yang tinggi (mencapai US$1,2 miliar untuk proyek besar) dan masa produksi yang panjang (hingga 30-40 tahun untuk proyek utama). Banyak perusahaan yang juga mengeluhkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian pajak.

Apa yang Harus Dilakukan ?
KERANGKA KEBIJAKAN KOMPREHENSIF YANG DISETUJUI SELURUH KABINET
Yang Dibutuhkan Adalah Pendekatan Menyeluruh, Bukan Sebagian. Iklim investasi sektor pertambangan sangat membutuhkan langkah-langkah perbaikan. Apa yang harus dilakukan adalah merubah kebijakan yang dilakukan menjadi pendekatan secara menyeluruh. Pertama, pemerintah perlu menentukan dimana posisi Indonesia dalam kerangka daya saing global. Sebelum mengembangkan rencana untuk mencapai posisi tersebut, strategi yang harus dikembangkan adalah Bagaimana posisi Indonesia Dalam Menarik Investasi Baru. Jika Indonesia ingin mengulangi cerita sukses dalam menarik investasi besar dalam eksplorasi dan pembangunan sektor pertambangan, maka kabinet perlu menetapkan proses yang mengikutsertakan seluruh kementerian terkait bersama pihak terkait lainnya untuk mempersiapkan kebijakan utama sektor pertambangan. Hal ini harus dilakukan oleh seluruh kabinet dan disetujui sebagai dasar dalam pembentukan peraturan-peraturan yang mengikuti Undang-undang pertambangan baru. Ini juga dapat menjadi pedoman dalam proses perubahan rezim fiskal bagi sektor pertambangan, selain menjadi pedoman dalam mengatur koordinasi sektor pertambangan dan kehutanan.


BAGAIMANA MEMBUAT PROGRAM INI BERJALAN
1. Mengisi Kekosongan Hukum
Kekosongan hokum diharapkan dapat diselesaikan dengan lahirnya Undang-undang Pertambangan Baru, Namun lahirnya Undang-undang Pertambangan Baru, bukan tanpa masalah, terjadi inkonsistensi dalam beberapa pasal, namun ada hal menarik bahwa berdasarkan pertemuan baberapa pakar hokum dan legislative di Jakarta beberapa waktu yang lalu, akan diadakan perubahan (bahasa pasar) terhadap beberapa pasal. Masalah inkonsistensi aturan perundangan tidak hanya terjadi di sektor pertambangan. Artinya harus ada koordinasi lintas sector. Khusus pada sektor pertambangan, permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan mengeluarkan sebuah Undang-undang baru mengenai pertambangan, desertai berbagai peraturan pelaksanaannya, karena undang-undang yang tidak disertai dengan peraturan pelaksanaannya ibarat memasung para para “investor”. Para investor hanya akan bersedia menanamkan modal secara besar-besaran, jika terdapat kepastian mengenai masa operasi mereka. Hal ini membutuhkan peraturan lokal yang konsisten, dapat diprediksi, tidak tumpang tindih dan diberikan secara eksklusif.

Selain itu proses Undang-undang tersebut, harus menjelaskan proses penutupan dan rehabilitasi pertambangan, dan tidak adanya perlakuan yang berbeda antara investor asing dengan domestik. Peraturan mengenai penyelesaian sengketa juga harus dipersiapkan sejak dini, dan diberlakukan sebagai prioritas utama dalam menjalankan undang-undang baru tersebut didukung oleh Peraturan Lainnya. Rancangan Undang-undang tersebut harus didukung peraturan pelaksanaan yang menjamin adanya konsistensi antara peraturan dan perundangan, serta petunjuk pelaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan. Di banyak kasus, peraturan pelaksanaan yang terinci merupakan hal yang sama penting dengan peraturan perundangan itu sendiri. Harus ada peraturan dan standar nasional yang seragam mengenai kriteria dan prosedur dalam pemberian izin, pembebasan dan akses lahan, aturan pelepasan, kewajiban pelaporan, serta keharusan penghimpunan dana untuk penutupan dan reklamasi area pertambangan. Dan Persetujuan di Tingkat Nasional/Lokal. Adanya semacam Memorandum of Understanding antara pemerintah nasional dan kabupaten serta propinsi dimana terdapat aktifitas pertambangan, akan membantu pelaksanaan peraturan yang ditetapkan. Kesepakatan ini menjelaskan bagaimana fungsi dan tanggung jawab dapat diterapkan, sejalan dengan Undang-undang dan peraturan yang berlaku. Cara ini telah menunjukkan hasil yang cukup baik di berbagai negara, seperti di Argentina.

2. Memilih Penggunaan Lahan Secara Tepat
Hal pokok yang harus dilakukan adalah Menyelesaikan Perbedaan Antar Kementerian. Pelarangan aktifitas pertambangan di area hutan lindung telah menciptakan konflik kebijakan dan kebuntuan mengenai penggunaan lahan antara Departemen ESDM, yang menganggap bahwa KK harus dihormati, dengan Departemen Kehutanan, yang melarang aktifitas pertambangan dilakukan di area hutang lindung. Kebuntuan tersebut mencerminkan permasalahan mendasar dalam koordinasi kebijakan dan tidak tersedianya prosedur yang menjamin keputusan penggunaan lahan dilakukan secara transparan, dengan konsultasi bersama seluruh pihak terkait, serta mempertimbangkan berbagai informasi yang mempengaruhi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Dalam sektor pertambangan, situasi tersebut dapat diperbaiki, jika bidang perencanaan Departemen Kehutanan dapat duduk bersama dengan Ditjen GSDM, beserta para pemegang KK untuk mengkaji berbagai KK yang berada di area hutan lindung dan konservasi. Mereka juga dapat membuat peta mengenai penggunaan lahan dan menyebarkan peta tersebut secara luas, misalnya dengan menyediakannya di suatu web-site. Mempertemukan Berbagai Pihak Terkait.

Langkah selanjutnya dalam memcahkan masalah konflik kebijakan tersebut adalah dengan mengadakan sebuah lokakarya yang mengkaji berbagai aspek terkait dalam bidang kehutanan dan pertambangan. Lokakarya ini menampung aspirasi dari berbagai pihak yang berkepentingan (badan-badan pemerintahan yang terkait, perusahaan pertambangan, masyarakat sekitar, asosiasi bisnis dan LSM), termasuk juga perwakilan dari pemerintahan propinsi dan asosiasi kepala daerah tingkat dua. Lokakarya ini dapat memberikan informasi mengenai prosedur dan praktek pelaksanaan di berbagai negara lain yang menghadapi permasalahan serupa, serta dapat mengkaji prosedur dalam mengevaluasi penggunaan lahan. Penyelesaian konflik tersebut mengirimkan sinyal positif bagi investor dan pihak donor, bahwa pemerintah telah siap melakukan perbaikan yang dibutuhkan dalam komunikasi dan kerjasama antar lembaga untuk menyelesaikan masalah serta menciptakan kebijakan dan prosedur pembangunan yang terencana.


3. Perlindungan Lingkungan Hidup
Kerjasama antara Departemen ESDM dan KLH mutlak dilakukan untuk menjamin berbagai aturan, yang bertujuan melindungi lingkungan dan meningkatkan manfaat terhadap masyarakat lokal, hal ini harusnya sudah diatur dalam peraturan perundangan yang baru. Peraturan ini harus menjabarkan aspek pengawasan, pengembangan masyarakat dan konservasi lingkungan hidup. Upaya memperbaiki situasi saat ini, serta mengembangkan kapasitas yang diperlukan di berbagai daerah tingkat dua, membutuhkan koordinasi usaha dalam jangka panjang.  

Kebutuhan kabupaten yang belum mempunyai pengalaman juga patut diperhatikan. Selain itu, penting pula diperhatikan bahwa seluruh kabupaten tersebut tidak hanya mempunyai kapasitas untuk mengelola dan mengatur sektor pertambangan, tetapi juga memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang efektif. termasuk pula menyelesaikan masalah pertambangan ilegal. Tidak ada solusi yang mudah dalam menyelesaikan persoalan pertambangan ilegal dan kerusakan lingkungan dari penambang skala kecil yang tidak bertanggungjawab. Pemerintah harus memulai proses penyelesaian masalah ini dengan cara: (a) mempersiapkan analisa dan pencarian fakta mengenai skala dari pertambangan ilegal dan perusakan lingkungan, serta (b) berdasarkan temuan tersebut, mengidentifikasi berbagai cara yang mungkin dilakukan dan dapat memperbaiki situasi tersebut, bersama dengan pejabatpejabat pemerintahan daerah yang terkena dampaknya.


4. Memperbaiki Beban Pajak
Untuk menyelesaikan masalah yang dijabarkan di atas, serta membuat rezim fiskal yang berlaku di sektor pertambangan menjadi lebih kompetitif dan mendorong eksplorasi baru, Departemen Keuangan dan Departemen ESDM dapat membentuk komite lintas departemen yang membahas Tujuh Langkah Untuk Membuat Rezim Fiskal Lebih Kompetitif : (a) penurunan tingkat royalti pertambangan dari rata-rata 4% menjadi tarif seragam sebesar 2% untuk seluruh jenis mineral; (b) mengubah UU 18/2000 dan memasukkan batu bara serta bijih emas dan perak (tetapi bukan eceran emas dan perak batangan) ke dalam sistem PPN dan mengenakan tarif 0% untuk komoditas yang diekspor; (c) mengubah UU 34/2000 untuk memuat daftar tertutup pajak dan pungutan daerah yang diperbolehkan (terutama menghilangkan pajak yang terkait dengan perputaran usaha); (d) memperkenalkan pajak lain yang mengkompensasi pendapatan lainnya dari sektor pertambangan, seperti royalti, dalam jangka waktu sepuluh tahun setelah mulainya produksi; (e) mempercepat proses pengembalian PPN; (f ) menjadikan pengeluaran dalam bidang pengembangan sosial dan masyarakat sebagai pengurang pajak; serta (g) mengubah rezim fiskal sektor pertambangan untuk memperbolehkan berbagai aset sosial, yang dapat diimpor secara bebas pajak selama masa penambangan, dialihkan kepada lembaga penyedia layanan sosial yang tepat, tanpa dibebani kewajiban perpajakan.


Menetapkan Prioritas dan Mengembangkan
Rencana Aksi

Perlunya Pendekatan yang Terkoordinasi dan Menyeluruh. Langkah awal adalah melibatkan kabinet untuk merumuskan kebijakan sektor pertambangan. Kebijakan pertambangan tersebut seharusnya mencakup seluruh masalah penting dalam pengembangan sektor pertambangan, termasuk mengisi kekosongan kerangka hukum mengenai kewenangan pemerintah nasional dan subnasional, menetapkan penggunaan tanah yang menguntungkan, memperbaiki perlindungan lingkungan dan menjadikan rezim fiskal lebih kompetitif. Permasalahan ini harus diselesaikan di tingkat kabinet, mengingat hal ini menyangkut berbagai kewenangan yang berbeda. Jika pelibatan di tingkat kabinet dapat dilakukan, prioritas dalam perumusan kebijkan harus mencerminkan tingkat kewenangan dari Departemen ESDM. Jadi prioritas pertama setelah lahirnya Undang-undang Pertambangan adalah menyelesaikan berbagai peraturan pelaksanaan Undang-undang Pertambangan. Prioritas kedua adalah membangun kerjasama antara Departemen ESDM dengan berbagai lembaga pemerintahan lainnya untuk menyelesaikan berbagai masalah di atas. Masalah penggunaan lahan dapat dirundingkan dengan Departemen Kehutanan, sementara masalah perlindungan lingkungan dapat dirancang bersama KLH, dan masalah rezim fiskal untuk produk mineral dapat dirumuskan bersama Departemen Keuangan. Prioritas ketiga adalah menyelesaikan masalah penambangan liar yang melibatkan pemerintahan di tingkat nasional, regional serta lokal.


Motto : Bersama Kita Mari Membangun Negeri



Tidak ada komentar:

Posting Komentar